Akhir pekan ini berita penangkapan seleb Vanessa Angel dalam kasus prostitusi jadi perbincangan hangat. Di media massa maupun media sosial, kasus itu ramai. Tapi tentu aja saya nulis ini bukan untuk membahas kasusnya. Yes river. Bhahahak.
Anyhow, semua pemberitaan tersebut merujuk pada pertanyaan: kenapa cuma nama si perempuan yang diekspos? Kenapa nama si laki-laki nggak?
Pertanyaan itu juga saya temukan di timeline saya.
Narasi di mana laki-laki lebih terekspos dibanding perempuan tidak menarik, katanya. Di dunia patriarki menyalahkan perempuan lebih menarik, katanya.
Lalu saya mencoba menjawab. Bukan untuk menyalahkan apa yang dia bilang, karena faktanya memang demikian. Saya cuma mencoba untuk memberi perspektif lain dalam hal ini.
***
Saya berkecimpung di redaksi sebuah portal media online selama dua tahun belakangan. Jadi expert soal media online sih nggak, tapi sedikit banyak saya paham cara kerjanya.
*Sejujurnya saya jadi nulis ini karena tadi sempat ngebahas sama cami, lalu terjadi adu argumen cukup sengit wkwk*
Dari twit tadi saya jawab, “Menurutku di sini pilihannya lebih ke etika atau bisnis. kalo terkait cara pemberitaan di media online, tbh, keyword si nama perempuan yang kebetulan seleb ini tentu bisa mendatangkan lebih banyak page view, jelas menguntungkan.”
Di media online, apalagi kalau dipandang dari kacamata bisnis, mungkin page view itu semacam dewa. Derajatnya satu tingkat di bawah tuhan, dan tuhannya adalah uang. Apapun yang bisa mendatangkan page view pasti dikejar, demi mendekatkan diri pada tuhan alias biar cuan.
Emang nyebelin.
Saya nggak nulis straight news atau berita-berita yang sifatnya aktual (Thank, God!) tapi saya tau gimana teman-teman divisi sebelah di redaksi terkadang dipaksa mengesampingkan “INI HARUSNYA NGGAK GINI, DONG” demi “YANG BEGINI BANYAK YANG CARI DI GOOGLE.”
Soal etika menulis, kaidah jurnalistik, dan keberimbangan berita tuh kan basic banget, ya. Waktu kuliah saya dan teman-teman yang ambil jurusan jurnalistik lainnya mungkin dengan naifnya menyimak penjelasan dosen akan hal ini, lalu dari situ terpupuklah idealisme sebagai jurnalis,
yang kemudian terkikis seiring praktik di lapangan.
Hahaha. Damn it’s true!
Mengenai pemberitaan kasus seleb tadi, tentu exposure terhadap namanya akan memberi efek negatif. Mungkin ini juga akan semakin menyuburkan budaya patriarki di masyarakat kita, di mana perempuan seringkali dipersalahkan terlepas dari bagaimanapun konteks kasusnya. Sedihnya, sedikit banyak pemberitaan media turut ambil peran dalam hal ini. Saya sebagai pekerja media nggak tutup mata, kok. Kalau dibahas lebih dalam, ya panjaaaaang banget kerugian yang bisa dijabarkan. Tapi sebelum sampai ke sana, selagi pembahasan masih di permukaan, coba blik ke pertanyaan tadi. kenapa si perempuan diekspos?
Jawabannya sesederhana karena dia seleb, publik figur, terkenal. Sekali berita tersebar, orang jadi ngeh, “ooohh, dia???” dan pasti banyak yang cari kelanjutannya sampai akhirnya namanya muncul di google trend: kiblat para buruh page view.
Kenapa si cowok nggak diekspos? Karena yang nyari nggak sebanyak itu. Bitter truth.
Again, saya nggak membenarkan pemberitaan seperti ini. Lagipula kalau dipikir-pikir berita peristiwa ini bisa diseimbangkan dengan turut menuliskan siapa yang mengeluarkan uang 80 juta dan sedang bersama si artis saat diciduk polisi.
Saya cuma mau bilang kalau hal semacam ini bisa terjadi bukan semata-mata karena kami para pekerja media berupaya menyuburkan budaya patriarki yang mendiskreditkan perempuan. Ada faktor lain, seperti yang saya jabarkan di atas.
Kaidah jurnalistik kadang kalah penting dari pageview.
Sejujurnya, hal ini juga kadang bikin saya gelisah.
***
Depok, Januari 2018
Sesekali curhat yang (agak) serius. Btw, kenapa foto twit ybs yang diunggah, karena twit itu yang awalnya bikin saya mikir gini. Wk.